Ekonomi Kolaboratif Jadi Solusi Pemulihan Ekonomi Indonesia Pasca Pandemi COVID-19
Thepresidentpost.id - Jakarta - Ekonomi kolaboratif, atau yang kita kenal juga dengan sebutan ekonomi Pancasila, ternyata dapat menjadi solusi bagi Indonesia, juga bagi negara - negara lain di dunia, untuk keluar dari jurang resesi.
Demikian ditegaskan oleh para pembicara dalam webinar bertopik “Membangun Ekonomi Kolaboratif sebagai Solusi Pemulihan Ekonomi Indonesia Pasca Pandemi Covid - 19” yang diselenggarakan oleh President University dengan dukungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Selasa (27/10/2020).
Para pembicara dalam webinar tersebut adalah Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto, Rektor President University yang sekaligus menjadi pembicara kunci. Pembicara lainnya adalah Prof. Dr. Hendrawan Supraktino, Ph.D., anggota Badan Legislatif dan Komisi XI DPR RI yang membidangi masalah keuangan, perbankan dan perencanaan pembangunan, serta Prof. Dr. Bernadette Robiani, M.Sc., ekonom dari Universitas Sriwijaya, Palembang.
Webinar kali ini dipandu oleh JB Susetiyo, Direktur Internship & Career Center, President University, yang juga mantan Pemimpin Redaksi Majalah Fortune.
Dalam paparan kuncinya, Prof. Jony Haryanto membahas tentang model - model ekonomi kolaboratif yang selama ini sudah berkembang di masyarakat. Ia juga membagi sektor - sektor yang terdampak negatif dan positif oleh pandemi Covid - 19.
Sektor pariwisata, otomotif, konstruksi, transportasi, keuangan dan bahkan UMKM sangat terpukul oleh pandemi. Sementara, bisnis farmasi dan alat - alat kesehatan, FMCG, teknologi dan bisnis - bisnis online justru berkembang di saat pandemi.
Contohnya di sektor perbankan, Bank Mandiri justru mampu menjaring 20.000 nasabah baru via online. Begitu pula transaksi mobile banking yang dikembangkan Bank BRI malah tumbuh 61%. Peningkatan transaksi juga dialami oleh perusahaan - perusahaan financial technology (fintech).
“Jadi, selama pandemi transaksi dengan menggunakan uang elektronik atau digital banking justru meningkat,” ungkap Jony.
Fenomena ini, menurut Jony, perlu menjadi pertimbangan dalam mengembangkan model - model bisnis semasa dan pasca pandemi.
Jony menyambut positif kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia, yakni menahan suku bunga acuan sebesar 4% atau terendah sejak tahun 2016 dan quantitative easing. “Kebijakan tersebut sangat membantu pemulihan ekonomi nasional,” tegas Jony.
Kebijakan lain yang dinilainya positif adalah pemberian subsidi pajak dan mendorong konsumsi. Meski begitu Jony Haryanto juga memberikan beberapa catatan terkait dengan implementasi dari kebijakan pemerintah tersebut.
Misalnya, penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang belum sepenuhnya lancar. Dari sisi bisnis, Jony mencatat, pandemi juga membuat beberapa pengelola fintech menerapkan praktek - praktek bisnis yang merugikan masyarakat hingga masih adanya praktek - praktek investasi bodong.
Pembicara yang lain, Prof. Hendrawan Supratikno, dengan mengutip pernyataan dari ekonom AS Nouriel Roubini, mengungkapkan bahwa pukulan yang ditimbulkan oleh pandemi Covid - 19 ternyata lebih cepat dan dampaknya lebih parah ketimbang Great Depression yang terjadi pada tahun 1930 - an. Itu ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif dari banyak negara di dunia pada kuartal II - 2020.
“Hanya Tiongkok yang perekonomiannya mampu tumbuh 3,2%. Itu pun setelah kuartal I - 2020, ekonomi mereka terkontraksi 6,8%,“ papar Hendrawan.
Dalam paparannya yang bertopik Ekonomi Pancasila: Solusi Pasca Pandemi, Hendrawan juga mendukung langkah - langkah pemerintah dalam membantu meringankan beban masyarakat dan dunia usaha.
Di antaranya, dalam bentuk belanja kesehatan, alokasi dana untuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, program - program perlindungan sosial, pembiayaan untuk sektor korporasi, pemberian insentif bagi dunia usaha hingga subsidi dan alokasi dana untuk UMKM.
“Langkah - langkah itu memang perlu ditempuh pemerintah untuk mempertahankan kondisi perekonomian nasional,” ungkap Hendrawan.
Setelah berhasil mempertahankan, langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah memulihkan kondisi perekonomian. Hendrawan mencatat, saat ini banyak negara, termasuk Indonesia, sudah memasuki era Industry 4.0. Era ini dipicu oleh perkembangan teknologi, terutama Information & Communication Technology (ICT).
Perkembangan teknologi itu memicu terjadinya banyak pergeseran dalam dunia bisnis dan munculnya berbagai fenomena baru. Misalnya, bisnis ritel terbesar di dunia saat ini justru dimiliki oleh perusahaan - perusahaan yang tidak memiliki gerai, seperti Amazon dan Alibaba.
Atau, bisnis perhotelan kini justru dikuasai oleh perusahaan yang tidak memiliki hotel sama sekali, yakni Airbnb. Fenomena semacam ini juga terjadi dalam beberapa bisnis yang lain. Pada fenomena semacam ini, kepemilikan menjadi tidak penting. Justru yang lebih penting adalah pemanfaatannya.
Ekonomi Kolaboratif = Ekonomi Gotong Royong
Perubahan semacam ini, menurut Hendrawan, juga memicu terjadinya perubahan - perubahan lainnya. Dalam kemitraan bisnis, misalnya, sekarang ini masih ada model - model konvensional, seperti sub - kontrak, konsep inti - plasma, waralaba, multi - level marketing, pola dagang yang bersifat umum (agency dan distributorship) hingga kerja sama operasi (KSO).
“Di masa mendatang, pola kemitraan semacam ini akan mengalami perubahan menjadi lebih kolaboratif atau ekonomi kolaborasi,” tegas Hendrawan.
Bentuk - bentuknya, antara lain, sharing economy (ekonomi berbagi), crowd - base capitalism (kapitalisme yang berbasis kerumunan), platform capitalism, coopetition network (cooperation & competition), serta berbagai bentuk usaha patungan dan kerja sama lainnya.
“Ciri - ciri ekonomi kolaboratif semacam ini ternyata sangat dekat dengan konsep ekonomi gotong royong,” tegas Hendrawan.
Konsep ekonomi gotong royong adalah sangat cocok dengan konsep ekonomi Pancasila. Oleh karena kitu, lanjut Hendrawan, konsep ekonomi semacam ini perlu terus dikembangkan dalam rangka pemulihan perekonomian Indonesia.
Pembicara terakhir dalam webinar kali ini adalah Prof. Bernadette Robiani. Ada beberapa catatan yang ia sampaikan terkait ekonomi kolaborasi. Di antaranya, ekonomi kolaborasi mesti bisa mendorong investasi, meningkatkan nilai tambah dan menciptakan multiplier effect. “Jadi, dampak positif dari ekonomi kolaborasi di suatu sektor mesti berimbas ke sektor lainnya,” kata Robiani.
Lalu, lanjut dia, yang tak kalah penting adalah ekonomi kolaborasi mesti menciptakan keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya atau backward and forward linkage. Bukan berdiri sendiri.
Selain itu, kata Robiani, yang tak kalah penting adalah ekonomi kolaborasi mesti bisa menjawab isu - isu yang terkait dengan ketenagakerjaan. Isu - isu itu mencakup tenaga kerja yang bisa bekerja kembali, sama seperti sebelum pandemi.
“Bahkan ekonomi kolaborasi diharapkan bisa ikut menciptakan lapangan kerja baru. Lalu, yang sangat penting adalah ekonomi baru juga perlu bisa menjawab tantangan kesenjangan teknologi yang dihadapi oleh para pekerja,” tegas Robiani.
Baca Juga
- President Jokowi Reaffirms Commitment to Farmers’ Welfare
- Bapanas Head Ensures Availability of Rice Stock Ahead of Ramadan
- The 7th Abu Dhabi Dialogue in Dubai: Commitment to Enhance Migrant Worker Welfare and Gender Equality
- Rice Stock at Cipinang Central Market Sufficient: President Jokowi
- Investment in Manufacturing Industry Shows Upward Trend in Past Decade: Industry Minister
Komentar