Permenkes 54/2018 Bakal Direvisi, Kemenkes Persiapkan OMAI Masuk Program JKN
Thepresidentpost.id - Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan kesiapannya untuk merevisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Selama ini, beleid tersebut dinilai menghambat pengembangan dan pemanfaatan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) karena obat - obatan berbahan dasar herbal tidak masuk dalam daftar obat rujukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bisa dicover oleh BPJS Kesehatan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi menyatakan untuk bisa masuk dalam daftar obat JKN, maka instansinya perlu memastikan persoalan mutu, manfaat obat, kualitas, serta faktor keamanan dari OMAI yang diusulkan.
"Bukan tidak mungkin dilakukan perubahan sesuai perkembangan selama itu berpihak pada kepentingan publik. Karena ini kan demi kesehatan masyarakat," ujar Oscar dalam webinar Dialog Nasional Efek Covid - 19 Urgensi Ketahanan Sektor Kesehatan yang diselenggarakan Kompas TV secara daring, Senin (21/12/2020).
Kemenkes bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menurutnya akan melakukan evaluasi sebelum menerbitkan izin edar suatu produk OMAI, sampai memasukkannya ke dalam JKN.
"Nanti payung besarnya adalah JKN, kami perlu melakukan pembahasan pronas tersendiri mengenai Fitofarmaka ini. Perlu duduk bersama karena untuk relaksasi harus dilakukan sesuai international practice dari WHO," jelas Oscar.
Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai masuknya OMAI ke dalam daftar obat rujukan program JKN tidak hanya bisa menekan impor bahan baku obat, namun juga meningkatkan kesejahteraan petani tanaman herbal.
Anggota Komisi IX DPR, Anggia Erma Rini menuturkan, sejak pandemi COVID - 19 hasil panen jahe merah kelompok - kelompok petani di daerah pemilihannya laris terjual.
"Di Blitar sedang banyak kelompok tani menanam jahe merah. Karena ada perusahaan farmasi yang membutuhkan. Kalau permintaannya membludak, pasti secara ekonomi petani sangat terbantu," kata Anggia.
Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan hasil bumi yang bisa dijadikan bahan baku obat untuk memperkuat daya tahan tubuh sekaligus mengobati penyakit.
"Kita tahu Indonesia ini kaya. Tetapi kenapa empon - empon, jahe, temulawak dan lain sebagainya yang asli Indonesia justru kalah populer dibanding ginseng dari Korea? Kalau minim riset untuk dijadikan obat, kenapa tidak dilakukan dari dulu?," tegasnya.
Anggia menilai selama pemerintah memiliki kemauan politik yang kuat, maka seharusnya semua kendala regulasi yang menghambat produksi OMAI secara masif bisa direvisi.
"Tugas negara adalah memberikan persetujuan. Sebenarnya kalau mau obat fitofarmaka sejajar dengan obat kimia, maka boleh dong Permenkes Nomor 54 direvisi. Kalau revisi Permenkes kan tinggal ngobrol, duduk bersama, dikaji. Asal ada kemauan yang kuat pasti bisa," kata Anggia.
Sementara itu, Menteri Riset dan Teknologi / Badan Riset Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan, terhambatnya pemanfaatan OMAI yang diproduksi industri farmasi nasional ini, diyakini membuat percepatan kemandirian bahan baku obat dalam negeri tidak tercapai dan impor bahan baku obat yang mencapai 95 persen sangat menggerus devisa negara.
"Keprihatinan kita dimulai dengan fakta 95 persen bahan baku obat itu dipenuhi dari impor yang menggerus devisa negara. Sementara dokter kita sudah terbiasa memberikan obat - obat ini kepada para pasiennya," kata Bambang.
Untuk bisa menekan impor bahan baku obat tersebut, Menristek meminta semua pihak mengampanyekan agar para dokter memiliki keberpihakan kepada OMAI.
Ia menilai selama ini dokter - dokter di Indonesia belum terbiasa memberikan resep obat - obatan herbal kepada pasiennya karena sudah terlanjur nyaman menggunakan obat - obatan kimia.
"Kalau dokternya tidak menggunakan OMAI dan tidak mengusulkannya masuk ke dalam daftar obat rujukan Kementerian Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), industrinya tentu belum mau melakukan R&D," keluh Bambang Brodjonegoro.
Mantan Menteri Keuangan itu menegaskan, target Presiden Joko Widodo untuk menciptakan kemandirian industri obat nasional sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Obat dan Alat Kesehatan bisa jalan di tempat tanpa kontribusi para dokter.
Padahal salah satu misi dari Inpres tersebut adalah mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri/utilisasi kapasitas industri.
“Kita bisa masuk lingkaran setan karena berputar disini saja. Setelah saya pelajari, pengadaan obat dan alat kesehatan di rumah sakit itu yang menentukan adalah dokter yang langsung memberikannya ke pasien. Kuncinya ada di dokter ini,” imbuh Bambang Brodjonegoro.
Disisi lain, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Septian Hario Seto menyatakan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, telah memberikan arahan kepada jajarannya untuk mendorong relaksasi daftar obat JKN agar OMAI bisa masuk ke dalamnya dan digunakan oleh dunia medis di Indonesia.
"Awal tahun Pak Menko akan mengusulkan dilakukannya rakor khusus untuk ini, agar OMAI dibukakan pintu masuk ke JKN. Karena arahan beliau OMAI ini dimasukkan saja dulu dalam JKN, biar nanti produsen farmasi menawarkannya langsung ke dokter dan rumah sakit. Jangan kita tutup pintunya duluan," kata Seto.
Ia sekaligus mengapresiasi langkah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang telah lebih dulu menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Farmasi.
Dengan aturan TKDN produk farmasi yang baru, Kemenperin dinilai telah mendorong kemandirian industri obat nasional dengan bahan baku herbal dari dalam negeri.
"Kita harus kompak memasukkan TKDN sebagai komponen utama, dan bahan bakunya ada di domestik. Namun, kita juga ingin pemain farmasi domestik bisa memberikan harga obat yang kompetitif. Jangan karena sudah diakomodir masuk dalam TKDN, lalu harganya dibuat tinggi," tegas Seto.
Regulasi Baru TKDN Produk Farmasi
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Muhammad Khayam sendiri menegaskan komitmen instansinya dalam meningkatkan kemandirian industri obat nasional yang selama ini sangat bergantung pada bahan baku impor.
Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tersebut, Khayam menjelaskan perubahan penghitungan TKDN produk farmasi yang mempermudah produsen OMAI di dalam negeri.
"Sesuai aturan baru, menghitung TKDN obat tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based," jelas Khayam.
Ia menjelaskan penghitungan nilai TKDN produk farmasi berdasar processed based dilakukan dengan pembobotan terhadap kandungan bahan baku Active Pharmaceuticals Ingredients (API) sebesar 50%, proses penelitian dan pengembangan sebesar 30%, proses produksi sebesar 15% serta proses pengemasan sebesar 5%.
"Metode ini diharapkan dapat memperkuat dan mendorong pengembangan industri bahan baku obat (BBO), meningkatkan riset dan pengembangan obat baru. Selain itu, dapat mengurangi impor bahan baku obat dan mendorong kemandirian bangsa di sektor kesehatan," paparnya.
Kebijakan TKDN di sektor farmasi juga bertujuan untuk berkontribusi dalam program pengurangan angka impor yang ditargetkan mencapai 35 persen pada 2022. Pasar dalam negeri dinilainya sangat potensial untuk berbagai produk farmasi dan alat kesehatan dengan kandungan lokal tinggi.
"Potensi pasar yang besar bagi industri farmasi juga menjadi peluang untuk menarik investor agar mengembangkan bahan baku obat di Indonesia," jelas Khayam.
Berdasarkan data BPOM tahun 2020, terdapat 129 Industri Obat Tradisional, namun hanya 22 perusahaan yang memproduksi obat herbal terstandar (OHT).
Adapun lima perusahaan di antaranya telah mengembangkan fitofarmaka. Selebihnya, tergolong dalam Industri Ekstrak Bahan Alam. Saat ini yang telah terdaftar di BPOM sekitar 11 ribu produk jamu, tetapi yang merupakan produk OMAI sejumlah 23 produk fitofarmaka dan 69 OHT.
Baca Juga
- Indonesia Delivers 2.7 Million Doses of bOPV Polio Vaccine as Humanitarian Aid to Myanmar
- Teaching Hospital will be Present in Jababeka City to Strengthen the Jababeka Medical City Ecosystem
- Govt offers incentives for investors to build EV factories: Industry Minister
- 131,600 Households Enjoy Easy Access to Free Electrical Installation in 2023
- Indonesian Language Goes Global Through Workshop in Japan
Komentar