Darurat Kondisi Sektor Tekstil Indonesia
Thepresidentpost.id - Jakarta - Indonesia Economic Forum yang ke 7 mempertemukan para pemimpin politik, bisnis, pemerintah, pemrakarsa dan pemimpin komunitas untuk membahas visi Indonesia di tahun 2020 untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi pasca Covid - 19. Forum ini pertama kalinya akan diselenggarakan secara virtual pada Selasa - Kamis, 24 - 26 November 2020.
Berkolaborasi dengan HSBC Indonesia untuk ketiga kalinya, Indonesia Economic Forum tahun ini mengusung tema “2020 Vision: Rebooting Economic Growth Post Covid - 19.” Setelah mengalami penurunan ekonomi yang tajam sejak Krisis Keuangan Asia, Indonesia sedang berada dalam masa pemulihan perekonomian. Covid - 19 telah mempercepat perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan telah menciptakan peluang baru.
Pada hari kedua di sesi pagi yang mengambil tema “Emerging Trends in Global Trade” dan terbagi dalam 3 sesi diskusi panel.
Di sesi kedua ini, para pembicara membahas mengenai revitalisasi darurat sektor tekstil di Indonesia.
Industri tekstil Indonesia pernah menjadi primadona sektor manufaktur Tanah Air. Itu adalah salah satu pencipta lapangan kerja dan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi negara. Meskipun ekonomi naik turun, sektor tekstil mengalami pertumbuhan yang stabil dari awal 1970 - an hingga pertengahan 2000.
Namun sejak 2008, sektor ini mengalami keterpurukan, diterpa faktor internal dan eksternal. Secara internal, kebijakan perdagangan pemerintah yang tidak jelas, kenaikan upah dan biaya utilitas, kurangnya investasi baru mempengaruhi sektor ini. Secara eksternal, kebangkitan China sebagai pusat manufaktur utama berdampak buruk pada daya saing sektor tersebut karena barang - barang murah China membanjiri pasar domestik.
Terlepas dari tantangan ini, output sektor tekstil diperkirakan mencapai US $ 30 miliar per tahun, yang merupakan 2% dari pertumbuhan PDB dan 10% dari total output manufaktur. Tetapi karena memetakan jalur baru ke depan, sektor tekstil berada di persimpangan jalan.
Saat ini industri menemukan dirinya berjuang untuk bertahan hidup. Investor baru merasa sulit untuk bersaing dalam lingkungan survival of the fittest. Banyak produsen tekstil jangka panjang mengalami penurunan output karena impor produk luar negeri yang lebih murah.
Basrie Kamba selaku Director Asia Pacific Rayon membuka panel sebagai moderator, “Sektor tekstil merupakan industri yang sangat vital di Indonesia. Ke depan, jika sektor tekstil ingin kembali meraih kejayaannya, perlu ada perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah, terutama rezim perdagangan yang mendorong impor. Industri juga membutuhkan dukungan mendesak dalam bentuk subsidi energi agar tetap kompetitif dan keringanan pajak. Masih ada harapan masa depan untuk pasar domestik kelas menengah yang berkembang pesat di Indonesia sebagai peluang besar bagi produsen tekstil. Saat ini, Pemain tekstil Indonesia juga berinvestasi pada bahan baru seperti poliester yang memberikan nilai tambah industri untuk menambah industri serta perekonomian secara keseluruhan.” kata Basrie Kamba.
Alma Karma selaku Direktur Pengembangan Promosi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyampaikan bahwa dari BKPM mencatat target investasi 2020 yang telah ditentukan sebesar Rp. 817,2 Triliun, sudah tercapai sebesar 78% di bulan Januari - September yaitu sebesar Rp. 611,6 Triliun. “Selain itu, dikarenakan karena adanya pandemi ini, kami telah melakukan beberapa strategi seperti memfasilitasi perusahaan yang beroperasi, memfasilitasi perusahaan yang potensial namun belum beroperasi, mendatangkan investasi baru, serta memberikan insentif untuk perusahaan yang telah beroperasi yang akan memperluas investasi.”
Hal ini ditimpali oleh Ravi Shankar selaku President Director Asia Pacific Fibers dan Chairman of APSyFi yang mengatakan bahwa “Saat ini, pertumbuhan industri TPT memberikan kontribusi sebesar 3% terhadap PDB Indonesia. Dengan angka ekspor sebesar US$ 12 miliar dan impor sebesar US$ 9.4 milyar. Kita dapat melihat bahwa sebagian besar negara pesaing kita seperti India dan China memiliki neraca perdagangan yang lebih baik dari Indonesia. Indonesia telah mencerminkan penurunan, saat ini impor telah meningkat dan ekspor memiliki tingkat pertumbuhan yang stagnan. Kita telah melihat peluang revitalisasi. Ada tiga pendorong utama yaitu substitusi impor, mendorong ekspor, dan optimalisasi pasar domestik. Itu merupakan potensi yang kita miliki agar bisa mendorong kebijakan untuk lebih kompetitif.”Ujar Ravi Shankar.
Ravi menambahkan, Ia sangat mendukung atas dorongan BKPM terhadap investasi. “Kami pikir itu merupakan penyelarasan ekspor yang baik. US$30 milyar adalah target ekspor yang mudah jika kita dapat berintegrasi. Selain itu, hal ini dapat memberi insentif untuk penggunaan bahan baku lokal, memperbanyak kompetisi dan kita bisa mendapatkan lebih banyak ekspor, sehingga pertumbuhan ekspor juga bisa menjadi pendorong. Disamping itu adalah konsumsi dalam negeri. Kita berbicara tentang seberapa besar pasar lokal yang kita miliki. Tentunya, jika kita dapat menikmati produk dalam negeri, industri dalam negeri sendiri akan menjadi industri dengan pertumbuhan yang tinggi,” kata Ravi.
Jemmy Kartiwa, Chairman Indonesian Textiles Associaton (API) juga melihat bahwa untuk mereformasi kebijakan industri dalam negeri, perlu menyangkut biaya produksi dan meningkatkan daya saing di pasar. Industri tekstil Indonesia memiliki kebutuhan yang mendesak untuk memangkas biaya produksi agar dapat bersaing di pasar, terutama saat turunnya daya beli masyarakat yang lebih rendah akibat Covid - 19. “Dalam beberapa tahun terakhir kita dapat melihat kurangnya kebijakan yang mengatur dan mengontrol komoditas utama dan fakta bahwa internet menguasai pasar domestik Indonesia, memungkinkan besarnya kepentingan dengan sisi lain yang terkait dengan harga standar atau komoditas utama yang tidak hanya diimpor dalam jumlah besar, komoditas utama juga dijual secara lokal dengan harga yang sangat rendah dan lebih rendah lagi.” Ujar Jemmy Kartiwa.
Didik J. Rachbini, Senior Economist Institute for Development of Economics and Finance mengatakan bahwa Indonesia memiliki setengah dari ekonomi Asia, tetapi kinerja ekspor Indonesia masih menjadi nomor lima di bawah Vietnam, Bangladesh, India dan Turki. Secara global, angka ekspor mencapai US$650 milyar dan di di 2019, ekspor indonesia hanya mencapai US$ 12,9 milyar. Untuk tahun ini, saya memprediksikan di angka US$ 10 milyar - US$ 11 milyar, memang terlihat adanya penurunan. Akan tetapi, komoditas internasional akan terus membidik Indonesia karena kita memiliki pasar domestik yang cukup besar. “Ini adalah cerminan dari kebijakan di Indonesia. Jadi pesan saya adalah Indonesia harus sedikit lebih banyak mencari dan harus meningkatkan kekuatan dalam pemasaran internasional tahun depan,”ujar Didik J. Rachbini.
Indonesia Economic Forum adalah platform multi - stakeholder yang mempertemukan semua pihak. Indonesia Economic Forum memiliki visi untuk mempromosikan kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia dengan mengidentifikasi tren dan peluang. Sejak didirikan pada tahun 2014, setiap tahun Indonesia Economic Forum telah melibatkan pemerintah Indonesia, masyarakat sipil, komunitas bisnis, akademisi dan organisasi pemuda dalam forum tahunan.
Tahun ini, Forum Indonesia Economic Forum menjadi forum virtual terbesar di Indonesia, dan dihadiri oleh 1.000 peserta dari Amerika Serikat, Australia, India, Singapura, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Melalui platform digital, Indonesia Economic Forum telah menjangkau lebih dari 3.000 pemimpin eksekutif dan bisnis senior serta lebih dari satu juta pengikut di Indonesia.
Baca Juga
- Govt offers incentives for investors to build EV factories: Industry Minister
- 131,600 Households Enjoy Easy Access to Free Electrical Installation in 2023
- Indonesian Language Goes Global Through Workshop in Japan
- President Jokowi: Higher Education Plays Crucial Role in Producing Outstanding Human Resources
- Gradiant’s H+E Wins Contract in Germany to Build Water Treatment Facility for One of the Largest Semiconductor Fabs
Komentar