Minggu, 17 November 2024|Jakarta, Indonesia

Dorong OMAI Masuk JKN, Menristek Desak Kemenkes Revisi Permenkes 54 Tahun 2018

Ridwan

Jumat, 06 November 2020 - 20:46 WIB

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Bambang Brodjonegoro
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Bambang Brodjonegoro
A A A

Thepresidentpost.id - Jakarta - Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro, meminta Kementerian Kesehatan untuk segera merevisi aturan Permenkes No 54 Tahun 2018 karena belum memasukkan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) atau fitoformaka sebagai obat rujukan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Indonesia.

Menurut Bambang, regulasi tersebut sangat mengganjal upaya pemerintah untuk pemanfaatan luas OMAI di industri kesehatan dalam negeri.

Terhambatnya pemanfaatan OMAI yang diproduksi industri farmasi nasional ini, diyakini membuat percepatan kemandirian bahan baku obat dalam negeri tidak tercapai dan impor bahan baku obat yang mencapai 95 persen sangat menggerus devisa negara.

"Keprihatinan kita dimulai dengan fakta 95 persen bahan baku obat itu dipenuhi dari impor yang menggerus devisa negara. Sementara dokter kita sudah terbiasa memberikan obat - obat ini kepada para pasiennya," kata Bambang Brodjonegoro saat menjadi pembicara kunci webinar Dialog Nasional “Pengembangan OMAI untuk Kemandirian Obat Nasional” yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group, Jumat (6/11/2020).

Oleh karenaa itu, ia meminta semua pihak mengampanyekan agar para dokter memiliki keberpihakan kepada OMAI. Menristek menilai selama ini dokter - dokter di Indonesia belum terbiasa memberikan resep obat - obatan herbal kepada pasiennya karena sudah terlanjur nyaman menggunakan obat - obatan kimia.

Kondisi itu menurut Bambang justru menghambat penelitian dan pengembangan OMAI oleh industri farmasi nasional. Padahal pemerintah baru - baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu Di Indonesia.

"Kita juga harus sadar, mereka mau melakukan research and development (R&D/penelitian dan pengembangan), kalau sudah jelas pemakaian dari obat yang mereka teliti itu. Kalau dokternya tidak menggunakan OMAI dan tidak mengusulkannya masuk ke dalam daftar obat rujukan Kementerian Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), industrinya tentu belum mau melakukan R&D," keluh Bambang.

Sebagai informasi, OMAI belum dapat dijadikan obat rujukan JKN karena belum tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 Tahun 2018. Akibatnya, BPJS Kesehatan tidak meng - cover biaya pembelian obat - obatan herbal tersebut.

"Kalau tidak masuk JKN, tentu OMAI susah bersaing dengan obat berbahan baku impor. Harus ada ketegasan kita prioritaskan bahan baku obat dari negara kita sendiri. Saya yakin kalau sudah masuk JKN akan ada banyak lagi pihak yang melakukan riset karena sudah ada fasilitas super tax deduction sampai 300% itu," ujar Bambang Brodjonegoro.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena, menyoroti fakta di lapangan bahwa keengganan para dokter di Indonesia memberikan resep OMAI kepada pasiennya karena tidak ingin kehilangan insentif menjajakan obat berbahan baku impor.

"Kalau dari sisi kemauan politik untuk merevisi peraturan sudah ada. DPR mau, Menkes mau, lalu kenapa di level dokter tidak bisa memanfaatkannya? Tenaga kerja kesehatan di lapangan harusnya jangan ragu menggunakannya, karena efek samping OMAI ini lebih kecil. Di China untuk melawan Covid saja, yang pertama digunakan adalah obat - obatan herbalnya. Harus diakui, kalau obat impor ini kan ada fee, ngomong jujur saja ya. Makanya kita jadi bergantung seperti ini," tegas Melkiades.

Terkait Revisi Permenkes 54, Direktur Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Dita Novianti Sugandi mengaku instansinya sangat mendukung pemanfaatan OMAI di dunia medis.

Permenkes Nomor 17 Tahun 2017 disebutnya mengakomodasi pemanfaatan OMAI di fasilitas layanan kesehatan primer, yaitu Puskesmas.

"Sementara untuk Permenkes 54, untuk bisa memasukkan obat tertentu ke daftar obat nasional yang dapat digunakan dalam JKN ada mekanismenya. Terutama harus ada penyampaian usulan dari pihak terkait yang dilengkapi data pendukung, yang nanti akan dikaji oleh Komite Nasional sesuai international practice, serta memenuhi kriteria tertentu dan disetujui BPOM. Tidak ada niat kami menghalangi penggunaan obat herbal dalam JKN, karena buktinya sudah bisa digunakan di fasilitas kesehatan primer," kata Dita Novianti Sugandi.

Disisi lain, pelaku usaha pun mengapresiasi langkah pemerintah yang menerbitkan PMK Nomor 153 Tahun 2020. Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), Raymond R. Tjandrawinata menilai insentif pemotongan pajak tersebut akan merangsang pelaku industri farmasi untuk melakukan lebih banyak penelitian dan pengembangan OMAI.

"Tetapi kan PMK - nya ini baru terbit jadi butuh proses. Sekarang bagaimana caranya agar lebih banyak lagi dokter - dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) untuk menggunakan OMAI. Caranya adalah harus masuk ke JKN, sehingga dokter tidak ragu meresepkannya ke pasien," kata Raymond.

Indonesia sendiri memiliki biodiversitas alam terbanyak kedua di dunia setelah Brazil, sehingga bahan baku herbal untuk membuat obat banyak tersedia. Namun sayangnya, pemanfaatan OMAI di Indonesia justru kalah dibandingkan negara - negara lain.

"Di Jerman, 53% pemanfaatan obat - obatan di sana adalah berbahan herbal. Di China itu 30% dan Korea 20%. Kita tertinggal karena tidak difasilitasi penggunaannya," ungkapnya.

Sebelumnya, pada Kamis (5/11/2020) lalu, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh pihak terkait untuk bersama melakukan reformasi sistem kesehatan nasional secara besar - besaran. Reformasi tersebut juga mencakup kemandirian obat dan bahan baku obat.

"Indonesia memiliki keberagaman hayati baik di darat maupun di laut. Tetapi 90 persen obat dan bahan baku obat masih mengandalkan impor. Hal ini jelas memboroskan devisa negara, menambah defisit neraca transaksi berjalan, dan membuat industri farmasi dalam negeri tidak bisa tumbuh dengan baik," kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia.

Komentar

Berita Lainnya

Business 23/04/2024 10:32 WIB

Govt to Form Task Force to Tackle Online Gambling

President Joko “Jokowi” Widodo chaired a limited meeting which discussed efforts taken to eradicate online gambling in Indonesia, Thursday (04/18), at Merdeka Palace, Jakarta. Minister for Communication…

Economy 23/04/2024 10:27 WIB

President Jokowi Reaffirms Commitment to Farmers’ Welfare

President Joko “Jokowi” Widodo on Monday (04/22) inspected corn harvest in Boalemo regency, Gorontalo province. “Our corn import has decreased significantly from 3.5 million tonnes to 400,000-450,000…

Business 28/02/2024 13:01 WIB

Carsurin and NBRI Strengthen Strategic Alliance to Propel Indonesia’s EV Industry

PT Carsurin Tbk ("Carsurin") and the National Battery Research Institute ("NBRI") are pleased to announce the signing of a pivotal Strategic Alliance Agreement (SAA), marking a significant advancement…

National 21/02/2024 08:42 WIB

Gov’t to Continue Disbursing Rice Assistance

President Joko “Jokowi” Widodo has ensured that the Government will continue rolling out the rice assistance program for low-income families. The President made the statement when handing over rice…

Economy 21/02/2024 08:38 WIB

Bapanas Head Ensures Availability of Rice Stock Ahead of Ramadan

The National Food Agency (Bapanas) has ensured the availability of rice for the fasting month of Ramadan and Eid al-Fitr 1445 Hijri/2024 CE.