Ngeri...Petani, Industri dan Negara Bakal Rugi Segunung Gara-gara Rencana Ini!
Thepresidentpost.id - Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan, rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 17% jelas tidak memiliki argumentasi yang kuat, dan melanggar formula kenaikan harga komoditas. Di mana, rumus kenaikan harga komoditas yakni menambahkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Menurut Enny, ketidaksesuaian terjadi karena rencana kenaikan tarif CHT muncul di tengah deflasi dan negatifnya pertumbuhan ekonomi.
"Secara formulasi dan reasoning itu tidak ada argumentasi untuk dinaikkan cukainya," ujar Enny kepada wartawan di Jakarta (23/10/2020).
Lebih lanjut, Enny menjelaskan bahwa secara historis, biasanya kenaikan tarif cukai memang terjadi tiap tahun. Namun, kenaikan tersebut terjadi saat situasi ekonomi normal. Sementara, saat ini pandemi Covid - 19 menurunkan daya beli sekaligus pendapatan masyarakat.
Sekedar informasi, tersiar kabar bahwa pemerintah bakal mengerek naik CHT antara 17% hingga 19%. Kontan saja, rencana ini mendapat penolakan dari berbagai asosiasi di industri rokok.
Enny menilai, rencana kenaikan tarif cukai tahun ini akan berimplikasi besar pada kerugian banyak pihak, baik konsumen, petani, industri, dan negara secara ekonomi maupun kesehatan.
Pemerintah justru akan kehilangan aspek kemanfaatan dari kenaikan cukai itu sendiri. Pertama, konsekuensi nyata dari kenaikan tarif cukai adalah potensi gempuran rokok ilegal.
Menurutnya, kenaikan tarif CHT secara tidak langsung memberikan ruang bagi rokok ilegal. Sebab, pemerintah berencana menaikkan tarif CHT di tengah kondisi daya beli masyarakat yang lemah.
"Insentif untuk rokok ilegal jadi tinggi (kalau cukai dinaikkan). Karena biaya rokok itu 78 persen untuk regulasi, masuknya ke penerimaan negara. Rokok ilegal kan nggak bayar itu, maka akan sangat murah sekali harganya. Sesederhana itu," imbuhnya.
Kedua, lanjut Enny, kenaikan cukai akan mengganggu keberlangsungan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Dalam hal ini, bukan hanya industri rokok yang dirugikan, tetapi dari hulu ke hilir, mulai dari petani tembakau sampai konsumen akhir.
"Yang jelas, kalau cukainya naik, harga tembakau petani akan makin ditekan, petani kita nggak punya bargaining power," tuturnya.
Ketiga, efektivitas cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi rokok juga tidak akan optimal. Hal itu dikarenakan cukai yang tinggi membuka peluang untuk masuknya rokok ilegal. Artinya, konsumsi tetap tinggi sementara potensi penerimaan negara hilang.
"Saya setuju pengendalian tembakau harus ada, tapi kenaikan cukai itu bukan satu - satunya instrumen," tambahnya.
Lebih jauh Enny juga menegaskan bahwa segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) tetap harus dilindungi. Tidak hanya karena SKT menyerap banyak tenaga kerja, namun juga karena permintaan pasar juga mulai bergeser ke Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).
"Sehingga, kalau SKM dan SPM dinaikkan dan SKT nggak, itu ada bagusnya juga untuk mencegah migrasi semua ke mesin," ucapnya.
Terakhir, Enny meminta agar pemerintah mau mengkaji ulang rencana kenaikan tarif CHT dari berbagai perspektif. Seperti kondisi perekonomian, keberlangsungan industri, penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan petani.
Baca Juga
- Indonesia Delivers 2.7 Million Doses of bOPV Polio Vaccine as Humanitarian Aid to Myanmar
- Teaching Hospital will be Present in Jababeka City to Strengthen the Jababeka Medical City Ecosystem
- Govt offers incentives for investors to build EV factories: Industry Minister
- 131,600 Households Enjoy Easy Access to Free Electrical Installation in 2023
- Indonesian Language Goes Global Through Workshop in Japan
Komentar