Pak Jokowi! Industri TPT Nasional Hancur Lebur, Ini Biang Keroknya
Thepresidentpost.id - Jakarta - Kebijakan pro importasi tekstil menjadi biang kerok terpuruknya industry Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) hingga saat ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menjelaskan bahwa rendahnya daya saing menjadi penyebab stagnasi ekspor TPT, namun pembukaan kran impor menjadi penyebab utama hancurnya industry TPT yang berorientasi pasar domestik bahkan jauh hari sebelum COVID - 19.
Pasca pemberlakuan Permendag 64/2017 yang merevisi Permendag 85 tahun 2015, importasi tekstil terjadi secara masif karena Importir Umum diberikan keleluasaan impor melalui Pusat Kawasan Berikat (PLB). Padahal Permendag 85 2015 masih menyisakan masalah berupa banyaknya Importir Produsen bodong yang mendapatkan kuota impor dalam jumlah besar.
Ditambah lagi dengan terbit nya Permendag 77/2019 dimana Importir Produsen diperbolehkan impor melebihi kapasitasnya, importasi makin bertambah masif lagi.
"Importir ini sangat hebat mempengaruhi kebijakan perdagangan kita hingga 1 perusahaan API - P bodong bisa mendapatkan kuota impor yang sangat besar dan terlindungi oleh aturan," kata Redma melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (9/11/2020).
Tudingan Redma bukan asal tebak, karena dalam kasus importasi illegal tekstil di Batam yang menjadikan 5 orang tersangka termasuk pejabat Bea Cukai, dilakukan oleh 2 perusahaan API - P bodong yang mendapatkan kuota impor jutaan meter kain tenun dan ribuan ton kain rajut bahkan hingga diberikan kuota tambahan.
Redma pun menampik jika kebijakan pro impor yang dilakukan pemerintah berperan dalam mendorong pertumbuhan industry hingga 14% ditahun 2014.
"Bagaimana bisa mendorong pertumbuhan jika impor naik dan ekspor stagnan? neraca perdagangannya kan jadi turun," ungkap Redma.
Ia mengungkapkan bahwa pertumbuhan 2019 didorong oleh realisasi pabrikan rayon yang memang terjadi ditahun 2018 - 2019.
"Jadi bukan karena kebijakan importasi, lihat saja di 2019 banyak PHK dan pabrik - pabrik tekstil gulung tikar gara - gara impornya banjir," tegasnya.
APSyFI tidak habis pikir jika saat ini masih ada pejabat yang masih pro kebijakan impor. "Perintah Presiden kan jelas untuk impor hanya bahan yang tidak bisa diproduksi didalam negeri saja, Menteri Perindustrian juga jelas menargetkan pengurangan impor hingga 35%," ungkapnya.
Kemudian Redma menyoal revisi Permendag 77/2019 yang dirasakan berlarut - larut. "Ini kita bahas sejak Maret, sampai sekarang belum keluar, informasinya sudah ada di Kemenkumham untuk diundangkan," tambahnya.
Pihaknya berharap komitmen Kemendag untuk kembali ke Permendag 85 2015, dimana importasi hanya diberikan bagi produsen bahan baku yang tidak diproduksi didalam negeri dan tidak bisa dipindah tangankan.
"Kemendag harusnya tau bahwa kebijakan mereka selama ini yang membuat investasi disektor TPT mandeg, mana mau orang investasi kalau kebijakannya pro barang impor, dikasih insentif fiskal pun mereka tidak akan mau investasi, bahkan kebijakan relaksasi impor ini telah mendorong produsen menjadi pedagang," pungkasnya.
Baca Juga
- Joint Statement of Brunei Darussalam, Indonesia, and Malaysia on the Occasion of 30th APEC Economic Leaders’ Meeting (AELM), San Francisco, United States…
- Marketing in Motion: Behind the Promotion Strategy Jakarta-Bandung Fast Train “Whoosh”
- Rare Earth Minerals Finds in India Likely to Inform Future Lithium Demand, Says Supply Chain Specialist
- Take the pressure off coding for your developers
- Proposal to Abolish Gubernatorial Position Needs In-Depth Study: President Jokowi
Komentar